4 Langkah Menjadi Wartawan (untuk lulusan non komunikasi)
Lima tahun pertama di dekade lalu saya jalani sebagai seorang wartawan untuk media di Jakarta dan Batam. Pengalamannya itu mengajarkan saya banyak hal terutama dalam hal penulisan, riset, utak atik ide, dan liputan.
Lima tahun itu tentu tidak sebanding dengan pengalaman rekan-rekan wartawan yang saat ini lebih senior. Hormat saya kepada mereka yang bekerja tanpa lelah berupaya untuk menghadirkan informasi yang akurat di tengah masa banjir informasi dan konten saat ini.
Di tulisan ini, saya tak ingin membagi tentang pengalaman saya sebagai wartawan. Namun, saya ingin bercerita bagaimana proses saya menuju ke karir jurnalistik.
Melawan Mitos
Ada satu hal yang tertanam dalam pikiran kebanyakan warga saat berdiskusi soal wartawan.
“Dari jurusan jurnalistik ya?”
“Oo komunikasi ?”
Ya, wartawan selalu diidentikkan sebagai produk dari lulusan ilmu komunikasi, lebih spesifik jurnalistik. Baik itu yang dibentuk di fakultas komunikasi maupun isipol.
Saya juga punya pikiran macam itu. Saat ingin mendaftar kuliah, saya coba mengincar jurusan komunikasi di UGM dan UNPAD.
Dilalah, saya malah masuk di jurusan Geografi UGM.
Ya, selama kuliah saya lebih banyak belajar tentang bentang alam , survei, dan pemetaan. Meski begitu, saya mendapat sedikit ilmu jurnalistik dari diskusi-diskusi tentang jurnalistik di kampus terutama dari beberapa alumni yang banyak kerja di Kompas, koran besar itu.
Dan, dari situ saya dapat bayangan, rupanya dari jurusan ini, saya bisa menggapai mimpi menjadi wartawan. Satu cita-cita sejak SD saat semakin rajin membaca Tabloid Bola di pertengahan 90-an.
Beberapa lulusan dari kampus geografi ada yang bekerja sebagai reporter dan fotografer di Kompas. Selain posisi itu, banyak juga alumni bekerja di bagian penelitian dan pengembangan ketika Kompas menjadi inisiator penggunaan peta dan sistem informasi geografis untuk media massa.
Akhirnya pada Mei 2011, saya pun memulai karir saya sebagai wartawan di salah satu tabloid hiburan di Jakarta. Sebagai lulusan dari jurusan non jurnalistik — komunikasi, berikut langkah saya tempuh untuk menjadi seorang jurnalis, khususnya wartawan tulis:
1. Biasa membaca koran
Saat balita, waktu saya sudah mengerti apa yang ada di sekeliling saya, saya sudah terbiasa melihat bapak membaca koran Kompas langgnannya. Saat itu di kampung kami di Sorowako, koran yang datang hari ini adalah terbitan kemarin. Selalu telat sehari.
Saya terbiasa melihat koran meski tetap merasa berat untuk membacanya. Namun saat saya berlangganan Bola, dari situ saya merasa sangat tertarik dengan jurnalisme tulis. Dan, waktu itu saya memasang cita-cita sebagai wartawan olahraga.
Selain koran itu, saya sering baca majalah Bobo dan Intisari. Kalau ketemu majalah Trubus yang lama, saya juga membacanya, terutama karena senang dengan foto-foto ikan mas yang lucu, ginuk, dan menggemaskan.
2. Ikut seminar atau workshop jurnalistik
Keputusan saya untuk ikut dalam workshop jurnalistik Kompas yang diadakan oleh Fakultas Teknik UGM punya peran sangat penting dalam karir jurnalistik saya. Kala itu, saya menunggu wisuda di bulan Januari 2010.
Sebelumnya, selama kuliah, saya tak tahu bentuk-bentuk penulisan jurnalistik. Dari workshop itulah saya baru tahu rupanya ada yang namanya berita hard news dan feature. Untuk hard news, harus ditulis dengan format piramida terbalik.
Materi saat itu disampaikan oleh Pepih Nugraha, Wisnu Nugraha, dan Luwi Ishwara.Sangat dasar, namun ilmunya sangat baru untuk saya yang yang asalnya dari jurusan non jurnalistik — komunikasi.
Saya menambah ilmu jurnalistik lagi dari jurnalis dari Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja ketika mengurus sebuah workshop penulisan di Yogyakarta pada awal 2011. Waktu itu saya belum menjadi wartawan.
3. Mengirim tulisan ke media massa (dan diterbitkan)
Saat menggarap workshop menulis itu, saya berkenalan dan banyak berdiskusi dengan bang William Aipipidely. Ia pernah lama menjadi wartawan di Tabloid GO dan memimpin redaksi Majalah Bahana.
Dalam satu diskusi, ia menuntun saya untuk memilih karir sebagai wartawan. Tapi agar bisa diterima menjadi wartawan, kata dia harus ada bukti tulisan dimuat di media massa.
Saya pun mulai mengirim tulisan di rubrik opini Kedaulatan Rakyat, Harian Jogja, hingga Kompas. Tak ada yang menerbitkannya, apalagi untuk seorang lulusan yang baru saja selesai magang di satu NGO.
Namun penantian itu berakhir setelah tulisan opini tentang kemenangan Persipura di salah satu laga AFC Cup dimuat di tabloid Bola. Kala itu, Bola punya rubrik Oposan untuk opini-opini terkait sepak bola. Honornya pun lumayan, sekitar 250–300 ribu jika dimuat.
Rupanya, tak hanya sekali tulisanku dimuat Bola. Dalam bulan yang sama, dua kali tulisanku muncul di halaman Oposan. Rasanya bangga namaku tercetak di salah satu tabloid ternama di tanah air.
Saat ini, jumlah media cetak yang semakin sedikit tentu memperkecil peluang bagi penulis pemula yang berharap artikelnya diterbitkan. Peluang-peluang yang kecil itu bisa diraih dengan mengirimkan artikelnya ke koran-koran lokal.
Di Makassar misalnya, halaman opini harian Fajar tak jarang menerbitkan artikel yang ditulis oleh mahasiswa Makassar. Tentu itu pencapaian yang sangat baik mengingat rubrik ini jadi rebutan dosen dan praktisi.
Rubrik lain yang bisa diisi penulis pemula adalah rubrik kampus dan tamasya (traveling). Dengan situasi media saat ini, rubrik-rubrik itu mungkin tidak lagi menyediakan honorarium, namun jika ingin menjadi wartawan, memiliki artikel yang terbit di media massa lokal maupun nasional akan sangat membantu.
4. Melamarlah ke media lokal atau media-media kecil
Saya tidak akan melarang anda jika ingin melamar ke media-media utama di Jakarta. Apalagi saat ini telah banyak program pengembangan jurnalis muda di banyak media nasional.
Namun, jika lamaranmu ditolak, itu bukan akhir dari segalanya. Cara lain menembus dunia jurnalistik adalah mulai dengan media lokal, atau jika ingin ke Jakarta, mulailah dari media-media kecil.
Bermodalkan dua tulisan yang terbit di Bola, saya mengirimkan lamaran ke Kelompok Media Peluang yang saat itu menerbitkan sejumlah tabloid bisnis diantaranya Peluang Usaha. Dalam perjalannya, saya akirnya ditempatkan di tabloid hiburan di mana saya ikut dalam tim untuk membongkar skandal yang melibatkan artis, politisi, sampai pemuka agama. Mirip-mirip paparazzi koran kuning di Inggris lah.
Salah satu keuntungan melamar ke media yang lebih kecil adalah, jika anda menunjukkan keinginan untuk bekerja dan menerima jumlah gaji yang ditawarkan, masuklah barang itu.
Anda bisa menolak atau menegosiasinya, tapi itu bisa jadi satu-satunya jalan untuk masuk ke dunia jurnalistik.
Jika melihat perjalanannya saat saya mulai dulu sampai cerita teman-teman yang aktif saat ini, pola perekrutan media non arus utama nyaris belum berubah. Siap kerja, dan terima gaji yang di tawarkan. Syukur-syukur jika gajinya sama dengan UMR setempat. Beberapa, ketika masa magang tiga bulan, jauh di bawah nilai itu.
Namun, jika di media itu anda bisa mengembangkan kemampuan jurnalistik, jalan untuk berkarir ke media ternama semakin lebar.
Rekan saya di tabloid hiburan Githa Maharkesri kini telah menjadi salah satu presenter andalan di Kompas TV. Rekan saya yang lain, Hilman Muhammad, diterima di Bisnis Indonesia. Belum lagi yang kemudian bekerja di Cek & Ricek hingga Tabloid Bintang serta tabloid dan majalah milik grup Kompas Gramedia.
Ingat, jalan tiap orang berbeda
Langkah-langkah di atas merupakan pengalaman atau pandangan pribadi saya, dan tentu pengalaman tiap orang berbeda.
Saya mengingat di Batam, ada rekan saya yang sebelumnya menjadi supir taksi plat hitam kemudian diajak menjadi wartawan sampai kemudian sukses. Ada yang berawal dari seorang office boy, kini bisa memenangkan lomba jurnalistik tingkat nasional.
Rekan saya yang lain, awalnya telah diterima bekerja di salah satu jaringan minimarket. Pada hari pertama seharusnya ia bekerja, ia wawancara dengan sebuah media dan diterima. Akhirnya ia menjadi wartawan dan kerap saya minta bantuannya jika harus meliput di pengadilan atau kejaksaan.
Banyak dari mereka yang tak tertarik dengan koran, tak terpikir jadi wartawan, kini punya karir yang gemilang di dunia jurnalistik. Mungkin itu bisa terjadi padamu. Tapi jika anda bukan lulusan komunikasi dan jurnalistik, dan ingin satu model langkah menembus media massa, kisah saya di atas bisa menjadi petunjuk.